Jumat, 21 Oktober 2011

Menyetel SENAR-SENAR jiwa


Karakteristik dari sunyi sepi adalah memang “hening” tanpa bunyi, sehingga suaranya tidak banyak terdengar. Ia hanya didengar oleh manusia-manusia yang kesehariannya juga “sunyi”. Tidak dalam posisi menyebut yang hidup dalam “hening “ adalah sudah benar, dan yang lain adalah salah. Tetapi serupa dengan mulut manusia, “gigi” wujudnya keras karena tugasnya memotong dan menghancurkan. “Lidah” bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan melainkan merasakan. Keduanya punya tugas yang berbeda.
Saat beratnya problem hidup tak mampu dipecahkan dengan logika, saat pedihnya penderitaan tak kuasa di obati dengan kata-kata, dan saat kekayaan tak mampu memutus rantai “adiksi” berkecukupan maka pena-pena kesunyian akan bercerita tentang resep-resep keheningan dalam “pharmacy of the soul” yang diracik untuk Anda yang saat ini sedang berduka atas kehilangan orang tercinta, menderita karena kebrangkutan usaha, merana ketika pasangan hidup tak juga berjumpa, cemas bila momongan yang belum ada, marah karena kepercayaan ternoda, gelisah karena belum dapat kerja, sedih karena teraniaya dan beragam wajah penderitaan yang lain.
Untuk hidup dalam “kebahagiaan”, penjelasannya telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, demikian juga penjelasan tentang apa yang membuat hidup kita “menderita”. Jadi saat ini yang dibutuhkan adalah bukan penjelasannya melainkan bagaimana kejelasan untuk memperjelas “penglihatan” kita. Saat kita pergi kelaut ada jutaan ombak disana. Namun kita tak pernah melihat ”indahnya” laut, karena kita begitu terpesona melihat ombak. Tanpa kita sadari, pikiran kita sering “dibingkai” oleh keindahan permukaan, kecantikan topeng dan  peran kepribadian. Ombak dan laut adalah realitas ”permukaan” dan ”kedalalaman” dari cara pandang tentang kehidupan. Ketika orang melihat permukaan, yang tampak hanyalah kenyataan pada ”layar” kehidupan dan yang pasti juga akan terlihat ”sama” oleh orang lain, tetapi menjadi berbeda ketika kita melihat pada kedalaman. Kedalaman menghasilkan cara pandang yang detail dari ”frame-frame” dalam roll film yang diputar. Kedalaman juga memberi jawaban dari kepingan-kepingan puzzle hidup kita.  Tetapi inilah yang terjadi. Kita terbiasa terpikat oleh daya tarik ”topeng” kepribadian yang sebenarnya ”semu” dan ”sesaat”. 
Saat Anda melihat lebih dalam, Anda akan menemukan “mata ketiga”. Kedua mata Anda bertemu pada satu titik jauh dalam diri Anda. Mereka tidak akan pernah bertemu di luar diri Anda, dan tak mungkin bisa. Semakin jauh Anda melihat, semakin jauh jarak antara keinginan dan kenyataan. Semakin dekat Anda melihat, semakin dekat jarak antara keinginan dan kenyataan, antara kesulitan dan kemudahan, antara penyakit dan obat kesembuhannya. Saat Anda memejamkan mata, kedua daya ”penglihatan” Anda telah menyatu ke dalam, dan satu mata didalam diri Anda akan dapat melihat ”kenyataan” yang sesungguhnya. Itulah yang disebut melihat tanpa ”indra” melihat. Inilah sebenarnya potensi ”mata batin” Anda. Potensi alami untuk menyatukan apa yang ”tersurat” dan yang ”tersirat”, mengurai ”semiotika” simbol dan bahasa alam. Melihat  keberadaan dan kenyataan yang utuh dan tak terbagi. Melihat yang gelap dan terang, yang fisik dan metafisik, masa lalu dan masa depan semua menyatu dalam totalitas kehidupan. Hakikat melihat ”langit” adalah melihat ke dalam diri Anda, menyatu dalam mata ketiga Anda. Disanalah ”ekstase” spiritual, disanalah ”kawruh” tentang hidup diturunkan.  Semua potensi ini ada ditangan kita, mau menggunakan atau tidak itu pilihan Anda, yang pasti di dalam diri Anda ada benih mata ketiga. Saat Anda terpejam, ”sadari” mata ketiga Anda maka energi mulai masuk dan jatuh pada mata ketiga Anda. Sesaat kemudian,  ”jendela” mata batin mulai terbuka.. Terbuka untuk melihat kedalaman dan terbuka untuk melihat keheningan. Dalam hening akan terlihat ”ketenangan” dan ”kejernihan” yang mengalir dari nafas yang ”tertindas” menjadi nafas yang ”terbebas”, dari beratnya penderitaan menjadi syukurnya kebahagiaan, dari keluh kesah menolak kenyataan menjadi ”ikhlas” menerima takdir tetapan dan pilihannya.
Ketika ditanya tentang “wajah” dari jiwa manusia saat ini, seorang sufi  yang hidup dalam kawruh “keheningan” terdiam , kemudian bernafas dalam dan menjawab: “seseorang yang tidak bisa berenang saat terbawa arus sungai yang dalam, biasanya ia akan “melawan”. Namun yang terjadi adalah tubuhnya semakin “tenggelam”. Saat tubuh tidak bisa bernapas, maka meninggallah ia. Namun setelah meninggal justru tubuhnya akan ”terapung” di permukaan air. Mengapa? karena ia telah berhenti untuk “melawan”.
Saat ini diantara kita masih banyak yang “tenggelam” dalam stres akibat kenyataan yang tak diinginkan, depresi karena tuntutan dan bingkai orang lain, penyakit yang tak kunjung sembuh, konflik beda persepsi dan harga diri dan lain sebagainya, mengapa? karena kita masih terus melawan dan menolak “kenyataan” yang se“harus”nya kita alami dan kita hanya menerima kenyataan yang di“ingin”kan terjadi. Kita hanya terbiasa melakukan sesuatu yang dinginkan, bukan yang seharusnya dilakukan. Saat kita berpikir bahwa setiap keinginan yang menjadi nyata adalah kebahagiaan, maka munculah “penderitaan”  mengalami tegang dan cemas “dihantui” obsesi dan harapan. Semakin jauh jarak antara keinginan dan kenyataan, semakin besar juga penderitaan yang ada. Begitu pula, saat kita berpikir bahwa setiap kenyataan yang diinginkan adalah kebahagian, maka lahirlah “penderitaan” karena ketakutan untuk kehilangan apa yang telah didapat. Semakin tinggi dan besar “aset” yang didapat, semakin “paranoid” dan posesif untuk mempertahankan apa yang sudah dimiliki. Kemudian apa yang terjadi? Secara tidak sadar kita sudah “menegaskan” bahwa keinginan dan kenyataan yang “asimetris” melahirkan penderitaan. Dan inilah yang terjadi! Ada sebuah takdir penciptaan dalam “hukum penegasan”, bahwa jika Anda menegaskan sesuatu secara mendalam maka sesuatu itu akan menjadi nyata. Itulah mengapa banyak orang yang kesulitan untuk ”keluar” dari penderitaan, karena mereka “menegaskan” penderitaan. Jadi mulai saat ini, ”berhentilah” menegaskan yang negatif dan ”mulailah” untuk menegaskan yang positif. Mulailah belajar untuk ”ikhlas” menerima sisi negatif kita, dan sesaat kemudian yang ada hanya ”kebahagiaan”. Kebahagiaan dengan sendirinya ”hadir” saat kita ”ikhlas” menerima apapun kenyataan hidup yang terjadi. Inilah berkah spiritual.  ”Setiap kesulitan pasti ada kemudahan”. Dengan keikhlasan, sesuatu yang sulit menjadi mudah. Dengan keikhlasan, suatu penderitaan menjadi kebahagiaan.
Jadi Anda harus bersama dengan totalitas Anda sebagai manusia untuk ikhlas menerima sisi positif dan negatif dari kehidupan Anda. Tidak ada jalan untuk menghindarinya dan tak ada seorangpun yang bisa menolaknya. Hanya dengan itu ketegangan dalam ”senar-senar” jiwa bisa diperbaiki menjadi harmoni yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...