Mengalami ”kebahagiaan” menjadi impian setiap orang. Namun tidak sedikit dari kebahagian yang kita raih, justru menjadi ”penjara-penjara” baru yang membawa ”virus” penderitaan dalam rumah kehidupan kita. Adanya berbagai ”penyakit” sosial seperti korupsi, perceraian, kriminalitas, terorisme maupun lainnya sedikit banyak juga berawal dari ”obsesi” untuk meraih ”persepsi” kebahagiaan. Demikian juga, kisah ”mencari kebahagiaan” dalam sebuah keluarga, juga seringkali berujung kekerasan dan perceraian. Keluarga yang dulunya masih punya uang pas-pasan, rumah masih menyewa, suami istri juga masih saling setia dan menyayangi, namun disaat kebahagiaan yang diimpikan ”teraih”, justru melahirkan keluarga ”broken home” yang selalu hidup dalam konflik dan ketegangan. Setiap orang akan selalu ”ditarik dan tertarik” oleh obsesi untuk mencari KEBAHAGIAAN. Ini manusiawi. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar manusia tidak pernah bertemu” dengan profil ”kebahagiaan yang membahagiakan”. Yang ada dan sering diumpai banyak orang adalah ”fatamorgana” kebahagiaan. Semakin dicari semakin lari. Siapa yang mencari kebahagiaan lewat barang, ia senantiasa dibawa lari keinginan untuk terus mendapatkan sebanyak mungkin barang. Siapa yang mencarinya kebahagiaan dalam uang, seringkali kebahagiaan dibawa lari oleh jumlah uang yang tak pernah cukup. Siapa yang mencarinya melalui jabatan, semakin tinggi jabatan juga semakin tinggi rasa ”takut” untuk kehilangan. Siapa yang mencari kebahagiaan melalui popularitas, cepat atau lambat popularitas membawa pada sifat tinggi hati dan hobi untuk menyakiti orang lain.
Inspirasi dalam tulisan ini hanyalah sebagai ”telunjuk” yang tidak berarti apa-apa, kecuali hanya ”mengindikasikan” dan menunjukkan ”adanya” sesuatu tentang kebahagiaan yang ”murni” membahagiakan. Telunjuk sebagai penunjuk jalan tidak bisa ”membawa” Anda pergi ke tempat tujuan. Hanya ”kesadaran” Andalah yang bisa membawa ”laku lampah” hidup Anda menuju cahaya-Nya.
Memahami peta kebahagiaan, sebagaimana sindiran Kabir seorang sufi mistik. Beliau berkata ”aku tertawa, ikan mati kehausan didalam air”. Cubitan Kabir ini menyentak, karena secara implisit manusia yang telah hidup di dalam danau atau bahkan samudera yang penuh air berlimpah, namun masih ”mencari-cari” air untuk diminum karena kehausan. Sebagian besar manusia terjebak dalam fenomena ”rantai kehausan” yang tidak pernah terpuaskan sampai kapanpun. When is enough enough? Kapan cukup itu terasa cukup?
Bagaimana cara melepas ”rantai kehausan” dalam pikiran kita? Ada sebuah ide sangat sederhana, mudah dicerna dan teramat mendalam. Belajar dari kehidupan ”LANGIT BIRU yang rendah hati”. Polanya adalah apapun yang sifatnya datang dan pergi dalam ritme kehidupan kita seperti suka duka, benci rindu, kaya miskin, sehat sakit, hidup mati dan lain sebagainya hanyalah merupakan ”awan-awan” gelap yang datang dan pergi dalam ”siklus” kehidupan. Setelah jadi awan, jadi hujan dan kemudian jadi air mengalir di sungai sampai laut kemudian menguap jadi awan lagi. Artinya AWAN akan senantiasa terikat oleh siklus putaran yang terus menerus berputar oleh taqdir penciptaannya. Berbeda dengan awan, LANGIT BIRU ya langit biru.. ada tidak awan, langit biru tetap ada. Ada tidak ada sinar matahari, langit biru tetap langit biru. Entah siang ataupun malam, langit biru tetap permanen disana. Perasaan yang tak pernah terpuaskan dan terus mencari kepuasan hanya dialami oleh manusia-manusia jenis ”awan”. Berputar-putar bersama keinginan dan impian untuk mencari kepuasan. Menjadi manusia yang berpikiran “langit biru” dibutuhkan kesadaran untuk berubah dari ”pemeran” dalam putaran-putaran awan menjadi hanya sebagai SAKSI adanya putaran-putaran awan. Singkatnya menjadi ” compassionate witness”. Seorang saksi yang penuh kasih sayang, sebagaimana seorang kakek yang menunggui cucunya berlari-lari ditaman. Senakal apapun sang cucu, kakek hanya tersenyum penuh pengertian.
Dalam keseharian kita, hidup ini sering dipermainkan oleh keinginan, kekhawatiran dan ketakutan. Duduklah di kursi sang ”kakek” yang penuh pengertian, lihat sang ”cucu” (baca: keinginan, ketakutan, suka duka, kematian dll) berlari kesana kemari dan ”tak akan kemana mana” larinya, hanya berputar-putar berganti ”bentuk”.
Untuk hidup dalam meditasi ”langit biru”, Manusia juga harus belajar hidup dengan sisi negatifnya hanya dengan begitu manusia menjadi lengkap. Kita semua ingin hidup hanya dengan sisi positif kita. Saat senang, Anda menerimanya. Saat sedih, Anda menolaknya. Saat sehat, Anda bergembira dan saat sakit, Anda mengeluhkannya. Yang pasti Anda adalah keduanya dan Anda harus senang menerimanya. Begitulah kehidupan, suatu saat Anda merasa di “surga”, dan disaat yang lain Anda merasa di “neraka”. Anda harus bersama dengan totalitas Anda sebagai manusia. Seluruh aspek baik dan buruknya harus Anda terima. Jika tidak, Anda akan senantiasa mengalami ”kegelisahan” tanpa akhir. Jadi belajarlah dengan perlahan agar ”ikhlas” menerima segalanya. Suatu hari nanti, Anda akan terkejut bahwa sisi negatif Anda akan menambah ”rasa” dan ”bumbu” kehidupan. Jika tidak, hidup Anda akan monoton dan membosankan. ”Seekor ikan yang terdampar di pantai, akan benar-benar ”mengerti” arti air bagi kehidupannya.” Pertumbuhan ini akan membawa pikiran kita pada ”keharmonisan antara gelap dan terang”. Dan pada fase ini, segala kekontrasan hidup menjadi keharmonisan. ”Returning to silence”, Kemana saja mata memandang, yang tersisa hanya satu yaitu KEINDAHAN yang membahagiakan!. Jadi jangan membuat masalah. Jangan mulai berpikir ” apa yang harus saya lakukan agar tidak resah?” Saat Anda merasakan resah, rasakanlah dengan nafas sadar! Saat Anda sakit, terimalah dan jangan banyak mengeluh! Hanya seperti iklim, saat musim panas datang, biarkan tubuh panas dan berkeringat dan jika saat musim dingin tiba, Anda menggigil kedinginan. Saat siang datang, Anda mulai menikmati dengan aktifitas optimal dan jika malam menjelang, Anda menikmati dengan istirahat yang totalitas. Perlahan lahan, Anda akan melihat hubungan timbal balik antar hal yang berlawanan dan saat itu juga ” rahasia” kebahagiaan terbuka untuk Anda. Kesadaran dari sifat ”insan” yang ikhlas akan senantiasa selaras dengan sifat ”Kedamaian dalam cahaya-Nya”, Ala Bidzikrillahi Tatmai’nul Qulub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar